Poligami { keluarga sejahtra}
Namun,berlindung pada pernyataan itu,sebenarnya bentuk lain dari
pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada
kenyataannya,sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit
dilakukan(An-Nisa: 129).
DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada teks
ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya
ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu
pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini
meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan
janda korban perang.
Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad
Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama
terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat.
Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi
perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan
darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan
dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).
Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi
"hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk
mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik
poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin
aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin
bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya.
Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami membawa berkah",
atau "poligami itu indah", dan yang lebih populer adalah "poligami itu
sunah".
Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan.
Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang
dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika memang
dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah
tangga?
Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada
berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang
menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri
tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru
kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun
dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi
ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".
Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi'i (w. 204 H), adalah penerapan
Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Nabi sedang
mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati
dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami' al-Ushul (kompilasi dari
enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita dapat
menemukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan
persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh
untuk solusi.
Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat
pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi.
Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA.
Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan "poligami
itu sunah" juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah saja, menurut
fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami,
calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah
(boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh
al-Ma'âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu
dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti
dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami. Karena itu, Muhammad
Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan
poligami.
Nabi dan larangan poligami
Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya
transformasi sosial (lihat pada Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 108-179).
Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk
meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7
Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian
rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.
Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami,
mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil
dalam berpoligami.
Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh
perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah
yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb
al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam
pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.
Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip
keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: "Barang siapa yang
mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada
keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus"
(Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai
kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga
perasaan istri.
Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan
pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan "poligami
itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi
dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami
Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan
propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka:
Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad
SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu,
Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa
keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk
mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak
akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku
izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan
mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang
mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya
adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis:
9026).
Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua
tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan
menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.
Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah
justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak
dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami
sampai Fathimah RA wafat.
Poligami tak butuh dukungan teks
Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi
sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami
dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda.
Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap
sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber
daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda
tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat
telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari
bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta
yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.
Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan
proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire,
dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang
dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan
bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir
batin luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan
itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu
terjadi karena kesalahannya sendiri.
Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen
statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk
menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan
perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab,
secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu
hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di
dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki
lebih tinggi. (Sensus DKI dan Nasional tahun 2000; terima kasih kepada
lembaga penelitian IHS yang telah memasok data ini).
Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang
dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat
sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang
diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang
dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.
Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami
dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang
dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa
berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan
monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah
keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu
keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau
kerusakan (mafsadah).
Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal
dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan
diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah
yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian
nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan
obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat.
Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan disaksikan Muhammad Abduh,
ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada
kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan poligami.
Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: "Tidak dibenarkan
segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain." (Jâmi'a
al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu lebih prinsip
dari pernyataan "poligami itu sunah".
Faqihuddin Abdul Kodir Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute
Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah
